Untuk Bapak,
sosok pria yang sudah selama 19 tahun ini melindungiku, menyayangiku, mengasihiku dengan setulus hati, mencintaiku tanpa pamrih, menyebut namaku dalam setiap do'anya, membuatku mengerti apa arti hidup, mengajariku segala hal yang akhirnya bisa membuatku seperti sekarang ini.
Bapak yang tak pernah absen menanyakan kabarku, mengingatkanku ketika aku melakukan sesuatu yang dapat membahayakan keselamatanku. Pria yang gagah dan pantang menyerah.
Aku masih ingat, waktu aku masih berada di taman kanak-kanak, bapak mengajariku naik sepeda. Aku yang saat itu takut untuk jatuh, takut gagal, tapi Bapak yang selalu mencoba menguatkanku, memberiku semangat, memberi kepercayaan kepadaku bahwa aku pasti bisa. Ketika akhirnya, aku bisa menghilangkan semua rasa takutku dan berhasil menjadi pengendara sepeda roda dua.
Ketika aku mulai duduk di Sekolah Dasar, Bapak yang mengantarkanku ke sekolah. Ya, karena sekolahku cukup jauh dari rumah, kami harus berangkat pagi-pagi. Bapak yang saat itu juga harus bekerja di pagi yang sangat pagi tetap meluangkan waktunya untuk sekedar mengantarkanku, memberiku pesan agar aku sekolah yang pinter biar ketika besar nanti aku bisa menjadi orang yang berguna.
Aku juga masih ingat, ketika kelas 2 SD aku diantar bapak dengan motor bututnya, lalu setelah sampai sekolah aku baru sadar kalau barangku ada yang terjatuh di jalan. Bapak yang walaupun saat itu terburu-buru mau menyusuri jalan yang kita lewati sebelumnya hanya untuk mencari barangku yang jatuh itu.
Tapi, saat-saat ini pula aku mulai tahu cara membangkang, sehingga aku sering mengabaikan kata-kata dan nasihat dari Bapak. Ah, betapa bodohnya aku di saat-saat seperti itu. Andai waktu bisa terulang kembali.
Tapi, apa yang bapak lakukan?
Bapak tidak marah, bapak justru memberi nasihat yang lebih banyak lagi. Dan dengan penuh kasih sayang, tanpa amarah.
Setelah aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku mulai merasa lebih besar lagi. Ya, walaupun saat itu aku masih diantar Bapak tiap pagi. Tapi aku mulai nakal, pulang sore, gaya brandalan, malas belajar, lupa tugas, lupa apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang pelajar dan seorang anak.
Tapi lagi-lagi, Bapak tidak marah. Bapak justru mencoba meluruskan jalanku dengan mencarikanku guru les. Bapak rela masuk sebuah universitas dan mencari langsung guru les privat untuk anak perempuannya yang nakal ini. Aku, yang saat itu masih tidak paham apa arti sekolah justru menghindari apa yang sudah bapak beri. Aku mencari kesibukan sendiri, tidak peduli dengan perjuangan Bapak untuk membuatku menjadi orang yang lebih berguna kedepannya.
Baru setelah kelas 9 SMP, aku sadar akan kelakuanku. Aku mulai menata hidupku. Bapak sangat bahagia dan bapak rela mengeluarkan biaya berapapun demi cita-citaku masuk SMA favorit. Bapak mencarikan tempat les terbaik supaya aku bisa mencapai cita-citaku. Hanya demi cita-citaku, bukan untuk keinginan Bapak. Semata untuk kebahagiaanku.
Akhirnya pengumuman nilai Ujian, aku mendapatkan nilai yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginanku. Aku menangis, dan menangis. Saat itu aku juga melihat raut kecewa dari Bapak. Bukan karena bapak kecewa padaku, tapi bapak kecewa karena tidak bisa membuat aku mencapai cita-cita kecilku itu.
Sampailah aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ya, walaupun tidak sesuai dengan keinginanku saat itu tapi aku mencoba bersyukur karena masih diberi sekloah yang tidak kalah favorit dengan yang aku inginkan sebelumnya. Aku mencoba menata lagi hidupku yang pernah semrawut dan tanpa tujuan itu. Aku mencoba mencari tujuan hidupku, mengerti apa yang menjadi tugasku sebagai seorang anak. Ya, saat itu pula aku mulai di tahapan remaja, dimana aku sama seperti remaja kebanyakan. Aku mulai mengenal arti lawan jenis, mengerti rasanya jatuh cinta. Saat inilah dimana bapak mulai bertindak. Bapak mulai mencoba mengenal teman-teman laki-lakiku. Banyak, memang. Tapi aku tau bapak pun tau mana yang sudah mencuri hati anak gadisnya ini. Bapak mulai sering mencoba 'kepo' tentang kehidupanku, profil dari laki-laki itu, bapak mulai sedikit 'mengekangku' agar tidak berbuat aneh-aneh. Ya, aku tau bapak melakukan semua itu demi kebaikan anaknya.
Di SMA, aku mulai mencari jati diriku. Aku sudah tidak terlalu bermasalah dengan kehdupan akademikku. Alhamdulillaah itu juga karena baak yang selalu memberi fasilitas terbaik untukku. Dan mulai saatnya aku mencari tahu kemana arah tujuanku setelah SMA. Mau kuliah di jurusan mana? Kuliah di universitas apa?
Lagi-lagi bapak yang mencoba mencarikan apa yang sesuai minat dan bakatku. Bapak tidak ingin aku kuliah di tempat yang aku tidak merasa nyaman berada di dalamnya. Bapak mencarikan jurusan yang sesuai denganku semata untuk kebahagiaanku, kesenanganku, dan kesuksesanku.
Tiba saatnya penentuan pemilihan tempat kuliah dengan jalur undangan. Dimana saat itu banyak sekali cekcok dan perbedaan pendapat antara aku, bapak dan ibu. Kami sering berdebat, mencari solusi terbaik.
Akhirnya aku memilih satu jurusan, tapi dengan universitas yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginanku sebelumnya, tidak juga sesuai denngan keinginan bapak dan ibu. Ya? aku memilih itu dengan pertimbangan bisa memenuhi keinginan dari kedua orangtuaku yang sebenarnya berbanding terbalik.
Pengumuman hasil, dan aku dinyatakan GAGAL dalam penerimaan itu. Aku merasa hancur. Bagaimana tidak? Banyak temanku yang sudah mengantongi perguruan tinggi lewat jalur itu sedangkan aku? Aku masih harus berjuang lagi. Ah, rasanya sakit.
Bapak, yang saat itu sepertinya juga sedih mencoba menguatkanku. Bapak tidak ingin aku berlarut dalam kesedihanku. Bapak ingin aku bisa bangkit dari keterpurukan. Bapak mencoba menyemangatiku dengan menawarkanku berbagai fasilitas yang jika dihitung-hitung biayanya tidak sedikit. Tapi sekali lagi, bapak menawarkan demi kebahagiaanku, agar aku bisa bangkit dan berjuang lagi untuk jalur penerimaan lainnya. Bapak juga menawarkanku kuliah di berbagai tempat, bapak meyakinkanku bahwa kuliah tidak harus di perguruan tinggi negeri, yang penting sesuai minat. Tapi aku tau, sebenarnya bapak tidak dengan hati yang tulus saat berbicara seperti itu, hanya untuk menenangkan hati anak perempuannya ini.
Saat ujian pun tiba. Bapak dengan setia mengantarkanku dan mendo'akanku. Walaupun aku tak melihatnya. Tapi aku tau, do'a bapak sangat kencang untuk anak pertamanya ini.
Hari pengumuman tiba, aku sangat takut menghadapi hasilnya. Bapak mencoba menghiburku dengan mengajakku jalan-jalan, mencoba membuatku tidak terlalu tegang dalam menerima hasilnya.
Alhamdulillaah, Allahuakbar. Allaah memberiku rejeki yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Aku diterima di salah satu PTN favorit dengan jurusan yang sesuai. Sangat terlihat jika Bapak sangat bahagia akan hasil yang diperoleh. Bapak bahagia karena bisa mengantarkan anak perempuannya satu langkah lebih maju untuk mencapai segala cita-citanya.
Terimakasih Bapak, terimakasih atas segala yang telah engkau berikan untuk anakmu yang satu ini.
Untuk anak perempuanmu yang bandel.
Untuk anak perempuanmu yang sering lupa menanyakan kabarmu.
Untuk anak perempuanmu yang masih belum bisa dikatakan dewasa.
Maafkan aku, anak perempuanmu yang belum bisa membahagiakanmu, membuatmu bangga, yang terkadang masih membangkangmu, masih dengan angkuhnya menyombongkan diri, masih suka sombong karena merasa jauh lebih pintar, masih dengan bodohnya tidak mengikuti perkataanmu.
Aku menyayangimu Bapak. Aku tau bapak jauh lebih menyayangiku.
Semoga suatu saat nanti, aku bisa membuat bapak bangga dan bisa membahagiakan bapak.
Dari anak perempuan pertamamu :')
No comments:
Post a Comment