Sunday, February 5, 2012

Binder kuning Dancow

Teruntuk kamu,
Kamu yang mungkin tak akan pernah membaca postingan ini.

Sore itu, ketika aku masih menjadi hal yang baru untuk kamu. Bukan hanya baru, tapi masih asing. Aku duduk tidak bersebalahan dengan kamu, walau dalam satu ruang.
Ini bukan soal percintaan, sekali lagi ini bukan soal percintaan. Ini soal uneg-uneg yang tak sempat terucap dari bibir.
Sore itu kita semua, aku, kamu dan mereka yang berada disitu memperkenalkan diri masing-masing. Bukan unsur ketidaksengajaan tapi memang begitulah tugas kita ketika itu. Mencoba mengenal dan dikenal. Aku tau namamu, akhirnya. Setelah beberapa detik dalam kebingungan untuk memanggilmu dengan sebutan, "hei".
Kamu, mungkin saat itu tidak tertarik berbicara denganku, orang yang jauh lebih muda dalam segi umur untuk berbincang-bincang.

Akhirnya setiap beberapa kali dalam seminggu dalam jam yang sama kita bertemu. Bercengkrama dan berdiskusi dalam satu topik yang sama. Dalam konteks ini unsur kesengajaan sangat kental adanya, bagaimana tidak? Di depan kami sudah ada fasilitas yang membuat kamu seperti disetir. Untuk kebaikan kami semua. Tapi saat-saat itulah yang membuat kita saling mengenal dan tambah mengenal satu sama lain.

Ingatkah kau dengan gurauan pertamamu? "Binder kuning Dancow" milikku itulah yang menjadi awal dari pertemanan kita. Kamu mengejekku karena binder itu. Aku tidak marah, aku justru bahagia. Kenapa? Karena kamu sudah mau mengenalku. Kebutuhan relasi itu sangat tinggi men untuk menghadapi globalisasi! Jadi, biarkan ini semua mengalir apa adanya.

Dan kamu mulai mengolok-olokku dengan gurauan-gurauanmu. Bukan lagi karena binder kuning dancow itu, tapi karena fisikku. Sempat aku sangat marah karena kamu sudah keterlaluan! Kamu menghina fisikku sedemikian rupa seolah-olah kamu adalah makhluk yang sempurna tanpa cacat sedikitpun! Kamu kira Tuhan itu melihat kita dari fisik? Kenapa kamu menganggap seolah-olah fisik yang aku miliki sekarang adalah fisik paling hina di muka bumi ini? Keterlaluan!

Tetapi semakin hari aku semakin lupa akan gurauan dan olokan itu. "Aku tak peduli, yang aku tahu dia hanya bercanda," gumamku dalam hati.

Sempat kita tidak bertemu. Mungkin dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan kita tidak bertemu. Lalu pertemuan pertama setelah sekian waktu tanpa tatap muka itu kamu masih santai, kita masih bersanda gurau untuk hal yang sebenarnya sudah basi dan tidak perlu dibahas lagi. Tapi justru itu merupakan topik yang renyah untuk kita perbincangkan.

Tak berselang lama, mungkin 3 sampai 4 kali pertemuan setelah itu, kamu tiba-tiba berubah berbanding 180 derajat. HEI, APA ADA YANG SALAH DENGAN KITA BERDUA? Kamu tiba-tiba sangat-sangat mengurangi frekuensi untuk bertatap muka dan sekedar mengucapkan "hai" seperti kita dahulu. Kamu menghindar dariku. Apa lagi ini ya Tuhan? Apa?

Puncak kekesalanku adalah ketika aku yang tak tahu apa-apa, duduk dalam arah jam 2 dari posisi kamu berada. Tidak jauh. Tidak juga dekat. Aku tak mau duduk di sebelahmu, aku tak mau menyakiti perasaanku hanya karena kamu yang baru, yang jauh lebih menyebalkan dibanding gurauanmu itu.

Secara tiba-tiba kamu melemparkan buku yang sedari itu kamu baca ke arahku. "Hei! Sopan sekali kamu! Apa memangnya salahku? Kalau memang aku salah, oke aku minta maaf tapi gak gini caranya. Nyakitin tauk!"

Teruntuk kamu, temanku.

No comments:

Post a Comment