Ketika itu,
Awal mula cerita yang sudah berujung lama itu dimulai.
Ketika itu, aku duduk di kursi biasa. Bukan kursi favorit, bukan juga kursi kenangan. Kursi yang biasa saja. Dan pemandangannya juga biasa. Datar. Di saat itu, aku tak tertarik denganmu. Sosok yang tidak pernah melongok dan menyapa "hai" padaku. Dan, orang yang jauh dari kata spesial untukku.
Tapi ketika itu pula, aku mendengar namaku dipanggil, entah saat itu musik yang mengalun di telingaku terlalu nyaman untuk kutinggalkan sejenak. Atau mungkin karena suara itu terlalu lirih agar dapat didengar. Tetapi sekali lagi, kudengar suara itu memanggil namaku. Aku menengok. Mencoba memastikan. Dan hasilnya, nihil.
Hari berikutnya,
Ada orang yang telah menggunakan kursi itu. Kursi yang kugunakan sebelumnya. Tetapi aku diam, mencoba menghela nafas. Rasanya terlalu bodoh jika aku memulai perkelahian hanya karena sebuah kursi. Tetapi dia, dia yang menggunakan kursi itu melambaikan tangannya ke arahku. Entah siapa dan apa yang mendorongku untuk mendekat. Ya, kita dekat sekarang. Kamu mencoba memperkenalkan namamu dengan gayamu. Tidak konyol. Tidak manis. Bahkan terkesan kaku. Dan kamu, dengan celanamu yang kombor dan longgar, terlihat seperti orang jaman dahulu. Perutmu yang buncit, hidungmu yang mancung. Kamu jauh dari kata keren.
Lalu hari demi hari kulewati. Tidak denganmu, tetapi dengan sapaanmu. Tidak ramah. Tetapi sangat membekas. Kamu, juga sering bercerita tentang hal-hal yang kuanggap kolot. Tetapi entahlah, aku malah tertarik. Dengan segudang kekurangan dan kelebihanmu, aku mulai tertarik. Hal-hal yang kamu anggap menyenangkan lama-lama aku juga bisa menyukainya. Kamu tertawa, aku juga. "Jadi, apa yang sekarang kita permasalahkan? Hubungan? Status?" Sampai sekarang, aku belum menemukan jawabannya.
Semakin hari, kita semakin dekat. Tidak hanya sebagai teman, tapi sebagai sahabat, katamu. Aku menerima keadaan itu sebagai kuasa Tuhan yang tidak ingin melihatku sendiri. Kita tertawa, bercanda, kadang aku menangis, dan kamu yang bisa membuat senyum terkembang lagi di wajahku. Aku, kamu dan kebahagiaan. Itulah kita. Semakin hari, semakin indah.
Dan suatu saat, ketika aku sedang menikmati indahnya perjalanan. Kamu yang menemaniku. Walau kau tak ada disitu. Tidak duduk denganku, tapi aku tau, kau menemaniku. Kita bercanda melalui alat komunikasi.
Tetapi tiba-tiba entah karena salah bicara atau salah cara menyampaikan. Kamu berkata agar aku menjadi apa yang kamu inginkan. Mungkin itu maksud dari yang kamu sampaikan ketika itu. Dan aku menjawab dengan manis bahwa aku adalah aku, aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Aku tidak berminat untuk menjadi orang lain. Saat itu, kamu tersinggung dengan perkataanku. Ya, mungkin apa yang kamu inginkan agar aku menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kita terlibat perang kata dan kalimat yang bisa dibilang jauh lebih hebat dari sebelumnya. Kamu, yang kukira dapat menerimaku apa adanya, mencoba mempertahankan keinginan itu. Tapi aku?
Dan aku menangis, tangisan yang tak dapat kau sembuhkan karena kali ini penyebabnya adalah kamu! Pada akhirnya aku yang kalah. Aku menyerah bukan karena aku takut kamu, tapi aku takut kehilangan apa yang sempat membuatku tersenyum. Tetapi kamu tak mau lagi memerima kata maaf dariku. "Kenapa kamu searogan itu?" batinku. Dan hari berikutnya kamu berkata bahwa kamu ingin semua itu berakhir. Ya, semuanya. Kebahagiaan, persahabatan, cinta, cita, dan kasih. Semuanya. Semudah itukah kamu mengakhirinya? Aku, yang dalam posisi lemah hanya tertunduk diam dan lesu. Berharap suatu saat kamu akan menarik kata-katamu itu. Ternyata tidak. Sampai sekarang, ketika kamu sudah jauh lebih tidak kolot dari pertama kita bertemu.